Ary Indra, “Aboday”, Principal Architect Aboday
Profesinya adalah arsitek. Meski demikian masih banyak yang menganggap arsitek sekadar profesi ‘bujangan’, tak bedanya pekerjaan mengisi waktu luang alias hobi. Bahkan arsitek tidak bisa mencari nafkah. Ary pun ingin membalikan pameo itu.
Dering handphone di pojok meja berbunyi kencang. Ternyata ada seorang konsumen yang hendak menggunakan jasa sang arsitek.
“Bisa kita bertemu Sabtu atau Minggu?,” tanya penelepon di ujung sana.
“Kenapa harus Sabtu atau Minggu?,” tegas Ary bertanya kembali.
“Karena hari Senin sampai Jumat saya kerja,” si penelepon memberi alasannya.
Namun Ary semakin lentang menjawab, “Saya juga kerja. Saya juga kerja Senin sampai Jumat. Jadi mari kita ketemu dihari Senin hingga Jumat.”
Profesi arsitek di Indonesia baru mulai berkembang dan diapresiasi masyarakat luas sekira 20 tahun belakangan ini. Saking banyaknya masyarakat yang masih menganggap sepeleh profesi ini, sebut pria bernama lengkap Ary Indra, sehingga sering disamakan seorang arsitek adalah seniman ‘Sabtu & Minggu’ yang sekadar mengisi waktu luang. Bahkan dahulu ada anggapan yang mengatakan bahwa arsitek maupun seniman tidak bisa mencari nafkah.
Padahal menurut pria berkepala plontos ini, Arsitek adalah sebuah profesi profesional yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah industri besar. Arsitek pun menerapkan standar dan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
“Cita-cita saya sejak dahulu adalah ingin menunjukkan kepada orang bahwa profesi ini bukan hanya profesi ‘bujangan’. Saya ingin membalikan fakta itu bahwa menjadi arsitek itu bukan hanya sekadar menjadi seniman tetapi ini adalah bagian dari industri besar yang ada konsekuansinya juga ada remunerasinya,” terang Ary di Lounge Grand Kemang Hotel, Kemang, Jakarta Selatan, medio Desember 2015 lalu.
Bekerja sebagai arsitek, sambung Ary, bukan hanya berawang-awang atau berimajinasi saja, tapi ada proses yang harus dilalui dengan disiplin tinggi.
Oleh karenanya, dia pun menerapkan hal itu pada semua karyawan di kantornya, agar apa yang menjadi kebutuhan para klien dapat terpenuhi tepat waktu dan memuaskan.
“Tentu ini dilakukan supaya orang juga bisa bayar kita tinggi, proyek kita juga semakin besar,” katanya.
Upaya yang dilakukan melalui berbagai karyanya itu lambat laun akhirnya mulai direspon dengan baik oleh masyarakat luas. Profesinya sebagai arsitek kian diakui, apalagi sederet konsep dan hasil rancangannya telah diaplikasikan di berbagai tempat.
“Saya menjalankan profesi ini, dengan bayaran sekian, dengan produknya seperti ini. Jadi saya ingin agar profesi ini menjadi lebih berharga dan dapat diandalkan, sebagaimana dokter, pengacara, atau profesi lainnya,” ujar Ary lantang.
Perlahan Ary pun mulai menikmati itu melalui perusahaan arsitek yang dia dirikan. Profesinya sebagai arsitek kian santer hingga tak jarang orang lebih mengingatnya Ary ‘Aboday’ dibanding Ary Indra.
Rencana dan Waktu
Setelah 10 tahun bekerja di sebuah perusahaan arsitektur di Singapura, pada awal 2006 Ary dan beberapa rekannya mendirikan sebuah biro konsultan di bidang properti yang kemudian dinamakan Aboday. Mendirikan perusahaan sendiri sejatinya sudah lama menjadi impian pria kelahiran Madiun, Jawa Timur, 25 Mei 1971 ini. “Tahun 2006 itu timing yang paling tepat untuk pulang ke Indonesia dan mendirikan biro arsitektur,” katanya.
Meski mengaku saat itu sudah banyak biro konsultan arsitek di Indonesia, namun bagi Ary peluang untuk menjalankan profesi arsitek di Indonesia, khsusunya Jakarta masih terbuka lebar. “Mungkin waktu itu sudah cukup banyak, tapi saya rasa masih banyak kue yang masih bisa dibagi untuk menjalankan profesi ini di Jakarta,” ceritanya.
Sejatinya mendirikan sebuah perusahaan sendiri adalah rencana matang yang telah ditargetkan pria jebolan arsitektur Universitas Brawijaya Malang 1995, sekira 10 tahun lamanya. Sebelum bekerja ke Singapura, Ary sempat menimbah pengalaman di Jakarta sebagai Junior Architect, Building Investment Development di AUTO 2000, Astra International, 2005 lalu. Setahun kemudian dia bergabung ke Ciputra Development, menangani bidang yang sama.
Di-tahun 1997, saat krisis mulai melanda Indonesia, Ary memutuskan untuk pindah dan bekerja di sebuah perusahaan arsitektur di Singapura. Ary berujar, setiap rencana besar yang akan dia lakukan, selalu dipersiapkan jauh hari, bahkan hingga 10 tahun sebelumnya.
“Itu target dalam hidup saya. Saya selalu punya rencana dan target baru. Disaat usia saya ke-25, 35, dan 45 tahun, selalu ada hal-hal baru yang akan saya lakukan,” kata Ary.
Ary meyakini bahwa setiap rencana yang akan dilakukan harus diwaktu yang tepat sehingga bisa berjalan lancar. Ini pun dia alami disaat mendirikan Aboday dan melakukan beberapa rencana lainnya.
“Setiap orang bisa merencanakan sesuatu, tapi kalau timing tidak pas, maka tidak bisa juga. Tapi dalam hidup saya sepertinya kedua-duanya itu selalu pas dan bisa berjalan seiring. Rencana dan timing bisa jalan beriringan,” katanya.
Apresiasi
Aboday didirikan sebagai sebuah biro arsitek yang mengedepankan profesionalitas dengan ciri dan gaya masa kini. Tenaga arsitek muda mengawali pergerakkan Aboday yang mulai menyasar pasar Jakarta dan sekitarnya. Gaya-gaya casual, tak terpaku pada formalitas. Spontanitas, itulah Ary melayani setiap permintaan klien. Ary bekerja mengikuti proses, meski tak suka jika proses desain itu tuntas. Ary beralasan apalah artinya jika hasil dari sebuah desain sudah diketahui sebelum waktunya. Sebab, Ary bilang desain itu sesuatu yang bergerak.
Gayung bersambut. Tak ada promosi besar-besaran, pun di media massa. Pekerjaan dilakukan dengan penuh hati dan tanggung jawab. Tidak disadarai, berbagai karya dan buah pikirannya itu mendapatkan tempat di hati konsumen. Permintaan pun semakin banyak yang berdatangan, hingga akhirnya harus diseleksi.
“Tiada promosi yang lebih baik selain dari mulut ke mulut. Kami awali dari hal-hal yang kecil tetapi yang berkesinambungan. Kualitas dan hasil kerja kami juga cukup baik sehingga mulai dipercaya konsumen,” jelas Ary.
Perjalanan yang dimulai sekitar Februari 2006 ini diawali dari proyek skala kecil, seperti rumah-rumah pribadi maupun villa. Gaya desain yang unik meningkatkan pula kepercayaan konsumen hingga proyek-proyek besar seperti hotel, rumah sakit, dan perkantoran pun mereka kerjakan.
Apartemen Nirvana di kawasan Kemang, Jakarta Selatan adalah proyek hunian vertikal pertama yang langsung ditangani Ary dan tim. Bangunan ini disulap menjadi lebih berkarakter dan menarik dengan menterjemahkan konsep bangunan tropis ke dalam bentuk bangunan vertikal. Apartemen 16 lantai ini juga menjadi pemicu dan menambah keyakinan untuk giat menjalankan Aboday.
“Ini membawa keuntungan besar karena setelah orang melihat kerja kami ini, pesanan apartemen pun makin banyak berdatangan,” cerita Ary.
Aparteman Nirvana adalah salah satu bukti nyata dimana Ary mampu memfungsikan setiap celah menjadi lebih bermanfaat. Rupanya semua itu dia peroleh semasa bekerja di Singapura.
“Di Singapura lahan sangat terbatas, sehingga setiap sentimeter punya harga yang tinggi. Jadi bagaimana kami bisa memanfaatkan setiap senti itu. Dan rasanya ini yang menjadi penyebab banyak yang meminta kami membuat apartemen mereka,” tegasnya.
Meski Ary mengaku tak pernah puas akan hasil karyanya itu, setidaknya beberapa hasil rancangannya dapat disaksikan, antara lain, Villa Paya-Paya di Seminyak, Bali yang menerapkan konsep “natah” – konsep arsitektur lokal; Kemang Women and Children’s Hospital di Kemang, Jakarta Selatan yang merupakan proyek rumah sakit pertama yang dikerjakan oleh Ary dan tim.
Di rumah sakit ini terdapat variasi dan kombinasi warna yang begitu dominan, terutama pada bagian jendela. Mereka mencoba untuk menerapkan terapi warna yang diyakni dapat membawa efek penyembuhan dan ketengan pada jiwa pasien.
Selanjutnya, Kubikahomi yang merupakan sebuah dormitory – apartemen yang disasar untuk kalangan mahasiswa, yang dibangun oleh pengembang pelat merah HK Realtindo di BSD City, Serpong, Tangerang. Beberapa proyek lain hasil rancangan Aboday yang juga patut menjadi refrensi sebuah desain adalah ArtOtel di Menteng, Jakarta Pusat; Apartemen Residence 18 di Kedoya, Jakarta Utara; Senopati Suites Jakarta; Perumahan H Mansion, Jakarta; Sentul Cliff, Sentul, Jawa Barat; dan masih banyak lagi.
Dan tidak ketinggalan, rumah tinggal miliknya di daerah BSD, Tangerang pun menjadi salah satu karya terbaik Ary. Playhouse, sebagaimana namannya, rumah dua lantai ini memang dirancang khusus untuk anaknya sebagai tempat tinggal sekaligus tempat bermain.
Menyatu dengan rumah, Ary merancang sebuah seluncuran/prosotan dari lantai dua ke lantai satu. Dengan demikian, putra tunggalnya Aria Gaung pun dengan bebas dapat meluncur dalam rumah tinggalnya itu.
Kini, Aboday telah berusia 10 tahun. Ary tak pernah menyangka jika Aboday mendapat kepercayaan yang semakin luas dari masyarakat. Bahkan setiap minggu selalu saja ada tawaran proyek baru, meski tidak semua diterimanya.
“Tapi dari semua itu, saya paling berkesan dengan Apartemen Saumata di Alam Sutera, Serpong. Memang belum selesai tapi inilah yang bisa saya banggakan setelah 10 tahun. Proyek yang dari depan sampai belakang adalah benar-benar hasil curahan pikiran dan hati kami.
Boleh dibilang, proyek ini adalah 100 persen keinginan saya,” ucapnya bangga.
Nama Saumata disematkan Aboday yang dalam bahasa Sansekerta berarti satu mata, semata-mata, atau satu-satunya. Disebutkan Ary, apartemen ini memiliki keunikan tersendiri dengan mengedepankan subtle luxury dan modernitas.
“Dulu kami mulai dengan lima orang. Sekarang di kantor sudah ada 40 orang. Dulu kami hanya mengerjakan proyek-proyek villa, rumah tinggal, tapi sekarang dipercayakan ke proyek skala besar,” katanya lagi. Ary kini benar-benar bangga akan pencapaiannya itu.
Ary menyadari bahwa kesuksesannya bersama Aboday tak semata buah dari perjuangannya sendiri. Selain karyawannya yang selalu tekun bekerja, ternyata ada lagi seorang partner yang jago berhitung, katanya. Dalam sebuah biro arsitek, kata Ary harus ada yang tugasnya bermimpi dan berhitung.
“Dia yang membuat semua perencanaan tentang keuangan, semua perencanaan tentang development. Bagaimana nanti bisnis kita bisa berjalan 5 atau 10 tahun dan seterusnya. Dan menurut saya, sebuah biro arsitek yang baik memang harus punya partnership.”
Konsisten dan Integritas
Konsistensi dan integritas adalah dua hal yang menjadi kunci sukses Ary Aboday. Menurut dia, menjalankan profesi apapun, termasuk arsitektur harus berani, ngotot, dan tidak mudah putus asa demi mencapai target dan cita-cita yang dituju.
“Juga integritas, artinya kita harus punya tanggung jawab. Bagaimana menggantungkan passion kita dengan kebutuhan orang dan kebenaran. Ini yang saya pikir menjadi bekal yang harus dimiliki setiap orang,” tegasnya.
Menurut dia, perkembangan zaman sekarang yang teramat cepat harus pula bisa disiasati dan dimanfaatkan oleh seorang arsitek untuk dapat menyesuaikan itu. Jangan sampai, sebut Ary, seorang arsitek terjebak pada budaya instan yang lebih memilih menjiplak ketimbang menggali potensinya sendiri. [Majalah Property and The City Edisi 18/2016 – Pius Klobor]
***
Saya Pengen Jadi Pematung
“Ayah saya seorang dokter, sementara ibu pelukis. Saya ingat, setiap ke mana-mana, mereka selalu tunjukkan bangunan-bangunan yang unik. Dan sejak kecil, saya juga selalu dibesarkan di rumah-rumah yang menarik.
Pertama di rumah nenek saya, rumah peninggalan Belanda yang terpisah dengan toilet di bagian belakang rumah. Sejak saat itu saya berpikir kelak saya sudah gede, saya akan bikin kamar mandi yang bagus.
Dalam bayangan saya, bagus itu berarti yang berukir. Bahkan saya sempat bilang kalau saya akan buatkan wc ukir-ukiran buat eyang. Dan sewaktu saya tinggal di rumah orang tua saya di Salatiga, juga sama parahnya, aroma Belanda dengan wc jauh di belakang. Saya berpikir kenapa orang tidak pernah praktis buat kamar mandi di samping kamar tidur.
Jadi memang sejak kecil saya sudah tertarik dengan ruangan-ruangan dan banguan. Saya juga selalu berhayal untuk merancang dan membuat sebuah rumah yang lebih praktis dan enak ditinggali.
Tetapi dahulu sebenarnya saya mau masuk ke seni rupa, jurusan patung, namun tidak diizinkan orang tua. Karena seperti yang saya bilang tadi, “kalau jadi seniman mana bisa hidup.” Dan kebetulan juga saat itu saya tidak diterima di ITB, akhirnya saya ke arsitek Brawijaya.
Nah, sekarang ini saya pengen kembali jadi seniman, pematung. Sekarang ini saya sedang sering membuat banyak karya instalasi. Dan beberapa waktu lalu ada pameran, saya ikut dan membuat patung. Dan ini seperti yang saya bilang, setiap umur, 25, 35 atau 45 tahun saya selalu punya rencana-rencana baru. jadi saat usia saya 45 tahun ini, saya ingin agar usaha patung saya sudah bisa jalan. Saya kepengen meluaskan sayap saya untuk menjadi seniman.”