Iklan Youtube Properti Terkini
Thursday, October 3, 2024

Tahukah Anda, Teripang dan Cumi-Cumi pun Bisa jadi Pewarna Tenun?

Tidak hanya tumbuh-tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai sumber pewarna alami, ramah lingkungan. Teripang dan cumi-cumi pun bisa menjadi bahan pewarna tenun.

Indonesia adalah negara maritime yang kaya akan beragam kehidupan bawah lautnya. Biota-biota laut, seperti teripang, cumi-cumi, maupun rumput laut tak hanya menyumbang protein yang tinggi saja, tapi lebih dari itu, dapat pula dimanfaatkan sebagai bahan dasar pewarna alam. Beragam warna alam yang dihasilkan, seperti hitam, oranye, kuning, kemerahan, hingga keunguan, kemudian dijadikan sebagai bahan pewarna pada tenun ikat yang dihasilkan oleh sejumlah petenun lokal.

Merdi Sihombing, perancang dan desainer kawakan, kini fokus mempromosikan dan membantu membudidayakan beragam tenunan khas daerah dengan pewarna alami. Sebagaimana yang ia lakukan bersama sekelompok penenun asal Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di Pulau Kenari (baca, Pulau Alor) ini, tepatnya di Kampung Hula, Alor Besar, Merdi bekerja sama dengan Sariat Libana, seorang penenun asli Alor. Wanita yang telah lama menekuni dan membudidayakan tenun ikat asli Alor inilah yang pertama kali menemukan sumber pewarna alami dari biota laut.

“Kita tahu, teripang (sea ​​cucumbers) ini kan hanya sekadar menjadi komoditas sejak jaman dahulu, dijual ke China menjadi makanan dan obat. Ternyata, teripang pun bisa menghasilkan warna,” ujar Merdi kepada IndoTrading News di sela pameran Indonesia Fashion Week (IFW) 2014, di JCC, Jakarta, Kamis (20/2/2014) lalu.

Adapun warna yang dihasilkan dari hewan laut tersebut, yakni dengan memanfaatkan air rebusannya. “Sama juga dengan cumi-cumi. Jadi tidak ada yang terbuang. Konsep pewarnaan inilah yang kami sebut bio fashion. Dan ini sudah gencar di dunia internasional. Indonesia saja yang belum mengerti.”

Inilah yang kemudian melahirkan beragam produk busana rancagannya yang memadukan motif-motif asli Alor dengan kehidupan bawah laut. Merdi, sang desainer pun memperkenalkan busana-busana hasil rancagannya yang menggunakan bahan tenun alor dengan warna-warna alami, nyentrik dan eksotis. Ini diperlihatkan pada pagelaran Swarna Festival di Pulau Alor yang diselenggarakan oleh Direktorat Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, November 2013 lalu.

“Semuanya alami. 100 persen produk Indonesia, 100 persen alami,” tegasnya.

Dan yang tak kalah pentingnya adalah unsur motif-motif yang menjadi ciri khas produk tenun lokal. Beragam motif yang ada pada setiap helai busana rancangannya, tak satu pun ia hilangkan. Menurut dia, motif pada teunan tersebut menyimpan cerita dan ingatan magis tentang leluhur yang diwariskan sejak jaman dahulu.

“Di mana pun, tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh etnik di dunia ini, motif itu bercerita. Jadi kita nggak boleh memotong cerita itu. Jika motif itu terpotong, maka cerita yang dibuat oleh leluhur kita yang tertuang di kain itu, pasti akan hilang,” ucapnya.

Membudidayakan Warna Alami

Bicara soal pewarna alami, ramah lingkungan, sebagaimana yang gencar dikampanyekan oleh pemerintah, Merdi punya pendapat, harus dibudidayakan.

“Kalau saya, bukan hanya ngomong soal warna alami saja, tetapi bagaimana membudidayakannya,” ujarnya.

Apalagi, Merdi menambahkan, eforia warna alam yang lebih ‘didendangkan’ pemerintah saat ini adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan. “Ini tetunya hanya akan merusak alam Indonesia, jika tidak juga diajari cara menanam atau membudidayakan tanaman tersebut,” kata dia.

“Bukan hanya pada tumbuh-tumbuhan yang saya develop, tetapi hasil laut, seperti batu mineral, tambas, dan beberapa lain. Jadi kebanyakan orang gunakan tumbuh-tumbuhan, kami tidak. Karena Indonesia belum siap ke sana. Seperti dua sisi mata uang. Ketika kita berbicara warna alam dan kita gunakan tumbuh-tumbuhan, itu sama dengan kita membunuh dia. Jadi kita harus perlu membudidayakannya,” urainya.

Kagiatan kampanye pembudidayaan pewarna alami ini juga dilakukan di beberapa wilayah lain di Indonesia. Selain Alor, Merdi juga melakukan hal sama di Ndao, Rote. Di salah satu pulau terluar Indonesia ini, Merdi dan penenun lokal juga mempelari beberapa tumbuhan endemis setempat.

“Kalau di Samosir, Batak, saya dengan indigo. Jadi sekalian saya juga mendata potensi pewarna-pewarna alami yang ada di berbagai daerah di Indonesia,” terang dia.

Dengan begitu, Merdi melanjutkan, mereka akan semakin banyak mengetahui dan memepelajari berbagai sumber pewarna alami yang berada di suatu daerah. “Jadi di situ ada warna-warna apa saja. Atau di wilayah ini paling bagus dan mudah gunakan warna alami apa dengan jenis bahan apa. Jadi di setiap daerah akan memiliki ciri dan kekhasannya masing-masing,” jelasnya.

Selain di Alor dan Ndao, daerah berikutnya, masih di wilayah NTT, yakni Lembata, tepatnya di Lamalera. Sebagaimana diketahui, Lamalera adalah salah satu desa nelayan tradisional yang hanya menggantungkan hidaupnya pada hasil laut, terutama perburuan ikan-ikan besar, seperti ikan paus.

“Di sana pastinya banyak tulang-tulang ikan yang berserakan, bahkan menjadi sampah. Sampahnya itu akan kita gunakan menjadi aksesori yang akan melekat di kain,” pungkasnya. [pius klobor]

- Advertisement -
Demo Below News

BERITA TERKAIT

Klaster Lily, Paramount Petals
Klaster Lily, Paramount Petals

BERITA TERBARU

Demo Half Page