Jika memang NJOP Jakarta tidak bisa ditunda lagi, maka seharusnya bila di satu sisi terbebani pajak, di sisi lain ada insentif tambahan bagi pasar, misalkan dinaikkannya batasan rumah yang bebas PBB dari Rp1 miliar menjadi Rp1,5 miliar.
Propertiterkini.com – Kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) bumi dan bangunan PBB P2 pada tahun 2018 rata-rata adalah sebesar 19,54%. Kenaikan objek pajak ini dipengaruhi oleh perubahan fisik lingkungan lahan dan pembangunan infrastruktur.
Menurut Sandiaga Uno, beberapa daerah di Jakarta kini telah memiliki akses yang semakin mudah. Hal itu kemudian berimbas pada tingginya nilai tanah dan bangunan. Dengan demikian, NJOP Jakarta yang ditetapkan meningkat pula.
Baca Juga:
- Anies Naikkan NJOP Jakarta, Rumah DP 0 Semakin Buram?
- Penyegelan Pulau D Reklamasi Teluk Jakarta, Anies Salah Langkah?
- Dulu Ditertawakan, Usulan IPW Soal Rumah Pertama Tanpa DP Kini Diterima BI
“Misalnya di Jakarta Timur banyak jalan tol yang dibangun dan aksesnya jadi naik, harga tanahnya juga meningkat,” kata Sandiaga Uno.
Dia juga memastikan kenaikan NJOP Jakarta tersebut dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan adil. Sebab, dengan naiknya NJOP, nantinya Pemprov DKI juga dapat terus meningkatkan fasilitas di daerah tersebut.
Berbeda dengan Sandiaga Una, CEO Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menilai, kenaikan NJOP Jakarta ini terkesan terburu-buru sehingga menjadi kebijakan sepihak tanpa mendengar pendapat dari berbagai pihak.
Meskipun demikian Ali mengatakan bahwa kenaikan harga NJOP Jakarta pastinya tidak bisa dihindari, namun momen kenaikannya pada tahun ini yang dianggap tidak tepat.
“Dengan kondisi pasar properti saat ini yang sedang melemah, akan lebih bijak bila kenaikan tersebut bisa ditunda sampai tahun depan,” kata Ali dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (12/7/2018) lalu.
Menurut Ali, indeks harga pasar perumahan di Jakarta terus menunjukkan pelemahan sejak tahun lalu.
“Sehingga bila NJOP dinaikkan tentunya akan semakin membebani konsumen, karena di sisi lain mereka juga tidak dapat menaikkan harganya. Kalau naik pastinya semakin tidak bisa terjual,” jelas Ali.
Selain kondisi pasar yang lemah, Indonesia Property Watch mempertanyakan urgensi dan transparansi Pemprov DKI Jakarta atas penggunaan pemasukan pajak tersebut. Pasalnya IPW belum melihat urgensi untuk dinaikkan tahun ini.
“Bila memang ada urgensi atau Pemprov DKI membutuhkan dana untuk perbaikan infrastruktur dan lainnya, sebaiknya harus transparan dibuka ke publik masyarakat Jakarta,” lanjut Ali.
Ketika dibandingkan dengan kenaikan NJOP saat Gubernur Basuki Tjajaha Purnama, Ali menjelaskan bahwa kenaikan yang terjadi pada tahun 2014 di saat pasar properti telah menikmati hasilnya karena dalam periode 2009 sampai 2013 pertumbuhan pasar properti sangat luar biasa.
Sedangkan saat ini bahkan sejak dua tahun lalu pasar properti masih belum bergerak dan cenderung terus melemah. Sehingga momen kenaikan tahun ini kurang tepat.
“Bila memang tidak bisa ditunda lagi, maka seharusnya bila di satu sisi terbebani pajak, di sisi lain ada insentif tambahan bagi pasar, misalkan dinaikkannya batasan rumah yang bebas PBB dari Rp1 miliar menjadi Rp1,5 miliar,” usul Ali.
Kenaikan pajak ini pastinya akan menaikkan harga properti. Namun menjadi dilema ketika pasar properti saat ini pun tidak dapat naik terlalu tinggi karena pasar yang tengah lesu.