Tarik-menarik antara tanah komersial dengan tanah hunian subsidi terus berlangsung saat ini. Platformnya, bisa dikatakan, adalah mekanisme pasar bebas. Kalaupun ada intervensi negara, itu terbatas kepada pematokan harga maksimal hunian subsidi, bukan kepada harga tanah hunian tersebut.
Dalam lingkup tersebut, jelas bahwa pengadaan tanah hunian subsidi perlaya oleh tanah hunian komersial. Pengembang hunian subsidi terus tersudut ke tepian demi mencari lahan yang harganya “masuk”, sehingga batasan harga jual maksimal dari negara tersebut tidak dilampaui.
Baca Juga:Â Bank Tanah Tanpa Perpres, Bisa!
Sekali lagi harus kita katakan, pada titik ini, intervensi lebih kuat negara terhadap pasokan bank tanah untuk hunian subsidi, harus lebih berderap kencang. Dengan begitu, aspek pasokan hunian subsidi bisa lebih terjaga.
Payung Hukum yang Mana?
Sejatinya, kini negara bukannya tinggal diam terhadap krusialnya bank tanah untuk hunian subsidi. Tercatat, ada lebih dari satu payung hukum bank tanah yang dimatangkan saat ini.
Pertama, melalui RUU (Rancangan Undang-undang) Pertanahan di DPR RI. Di situ, ada disebut tentang badan tanah nasional untuk keperluan tertentu. Disebutkan, adanya bank tanah nasional, bertujuan memudahkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Sebagian kalangan sudah menyatakan keberatan terhadap hal tersebut. Antara lain, Kondorsium Pembaruan Agraria menyebut bahwa konsep bank tanah nasional tidak sinkron dengan Undang-undang Pokok Agraria 1960, dan lebih mengacu kepada aspek pengadaan tanah untuk komersial. Hak tanah adat dan lain-lain disebut KPA berpotensi dipinggirkan oleh badan tersebut.
Baca Juga:Â Pengembang Properti Harus Lakukan Strategi “Membumi”
Kedua, melalui BLU (badan layanan umum) bank tanah. Rencananya, BLU tersebut mendapatkan payung hukum berbentuk perpres (peraturan presiden); sejauh ini, perpres untuk BLU itu belum dilahirkan.
Ketika sejatinya ada dua payung hukum yakni undang-undang dan perpres, akan bagaimana posisi bank tanah untuk hunian subsidi nantinya? Beberapa hal, sejatinya, perlu kita cermati dalam hal ini.
Pertama, dari segi keuntungan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pencari hunian subsidi ataupun pengembang hunian tersebut, mana yang lebih menguntungkan: badan tanah nasional atau BLU bank tanah?
Sampai saat ini, bisa dikatakan bahwa BLU bank tanah lebih pasti dalam menjamin adanya tanah untuk hunian subsidi. Di sini, sudah ada penjelasan ke publik bahwa tanah untuk perumahan MBR merupakan salah satu domain yang akan diatur oleh BLU tersebut.
Adapun dalam bank tanah nasional di RUU Pertanahan, posisi tanah untuk perumahan MBR tentunya masih menunggu penjabaran detail lebih lanjut, dalam bagian “penjelasan” ketika RUU itu sudah diabsahkan menjadi sebuah undang-undang.
Kedua, hal yang perlu dicermati adalah ada atau tidaknya nantinya, otoritas BLU bank tanah ataupun bank tanah nasional, untuk hal ini: mengunci atau setidaknya mengontrol derajat kenaikan harga tanah untuk perumahan MBR. Otoritas tersebut penting karena, seperti kita ketahui bersama, tanah komersial dengan tanah nonkomersial termasuk yang untuk perumahan MBR, cenderung bercampur baur dalam konsep BLU bank tanah ataupun bank tanah nasional. Adanya otoritas untuk mengunci ataupun mengontrol harga tanah perumahan MBR, menjadi semacam “panah pasopati” untuk meraibkan dampak negatif pencampurbauran tersebut.
Baca Juga:Â REI Sumsel: Pengembang MBR Masih Bertahan, Meski Untung Kian Buntung
Akhir kata, dari segi kedudukan hukum, memang konsep BLU bank tanah dan badan tanah nasional, sejatinya mengacu kepada Undang-Undang Pokok Agraria. Bagaimana ketika nantinya antar-dua badan itu ada semacam tumpang tindih kewenangan, ataupun ketidaksinkronan dalam hal mengatur tanah untuk perumahan MBR? Sementara ini, marilah kita menafikan pertanyaan skeptis ini, dan berharap bahwa ranah perumahan rakyat mendapatkan payung hukum yang sangat menguntungkan.