Dalam 10 tahun mendatang Jakarta dan sekitarnya akan menjadi megapolitan terbesar dunia dengan jumlah penduduk mencapai 35,6 juta jiwa. Bisa dibayangkan, betapa crowded-nya jalanan Ibukota jika tidak segera ditata, termasuk kawasan huniannya.
Propertiterkini.com – Pengembangan kawasan hunian apalagi dengan konsep hunian terpadu superblok atau mixed-use development harus pula diimbangi dengan penyediaan akses publik yang memadai. Jika tidak, kemacetan lalulintas hanya akan menjadi momok yang tak berkesudahan, seperti yang sudah terjadi di beberapa titik kota Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi).
Baca Juga: Podomoro Golf View Dukung Pemerintah Atasi Kemacetan
Sebagaimana sesuai dengan surat izin penunjukan penggunaan tanah, pengembang memang harusnya memenuhi beberapa syarat. Antaralain mengantisipasi kemacetan lalu lintas, menyediakan akses simpul jalan, akses angkutan umum, jembatan penyeberangan, dan lainnya. Termasuk dengan lebar jalan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Daerah soal Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Berbagai upaya memang harus diantisipasi sedari dini. Apalagi penduduk Jabodetabek juga terus bertambah signifikan. Bahkan perusahaan riset pasar global, Euromonitor International dalam surveinya tahun 2018 memaparkan bahwa dalam 10 tahun lagi, Jakarta, termasuk kota penyangganya akan menjadi megapolitan terbesar dunia. Menggeser Tokyo yang saat ini berpenduduk 35,3 juta. Jumlah populasi di Jabodetabek diperkirakan akan mencapai 35,6 juta penduduk pada tahun 2030.
“Tapi yang bedanya adalah, kalau di Tokyo, semua sistem jaringan di semua wilayah di sana terlayani oleh transportasi rel. Jadi, ke manapun kita pergi pasti terlayani dengan baik,” ujar Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna dalam gelar wicara “Peran Kota Penyangga Dalam Mengatasi Kemacetan Ibukota” di Marketing Lounge Podomoro Golf View, Kamis (14/3/2019) lalu.
Menurut Yayat, jumlah populasi di Jabodetabek akan bertambah 4,1 juta orang dalam kurun waktu 2017 dan 2030. Sebaliknya populasi penduduk Tokyo akan menyusut sekitar 2 juta lantaran faktor penuaan dan keengganan punya anak lagi.
Baca Juga: Sinar Mas Land dan Kawan Lama Group Bangun Proyek Mixed Use di Cibubur
Fakta lain tertuang dalam Hasil Survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014 yang menyebutkan bawah dari 28 juta penduduk Jabodetabek berumur 5 tahun ke atas, 13 persen-nya merupakan penduduk komuter.
Persentase tertinggi di Kota Depok (20 persen), Kota Bekasi (20 persen), dan Kota Tangerang Selatan (18 persen). Persentase komuter terendah terdapat di Kabupaten Tangerang (6 persen). Sementara untuk wilayah provinsi DKI Jakarta, persentase komuter tertinggi terdapat di wilayah Jakarta Pusat (15 persen).
Kondisi tersebut menjadi tantangan bagi masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di Ibu Kota. Sekaligus pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menyediakan sarana transportasi yang layak. Sementara pengembang sudah pasti menyediakan hunian terpadu yang berorientasi transportasi dengan aksesibilitas yang lebih mudah.
“Pemerintah harus bisa menyediakan sistem transportasi publik yang nyaman, aman, murah serta menjangkau lebih banyak tujuan masyarakat,” kata Yayat .
Merujuk data Bank Dunia, biaya transportasi maksimum adalah 10 persen dari pendapatan per bulan. Tapi faktanya di Jabodetabek, masyarakat menengah ke bawah rata-rata menghabiskan 43 persen.
Baca Juga: Tambah LRT di Tiga Kota, Jokowi: Transportasi Massal Harus Jadi Budaya
“Jadi kalau pendapatannya Rp4 juta, maka pengeluaran dia hanya untuk transportasi sudah hampir Rp2 juta,” kata Yayat.
Sementara di Cina, Yayat membandingkan, hanya 7 persen, Singapura 3 persen. Karena itu, tidak heran jika transportasi menjadi salah satu penyebab kemiskinan.
“Dan ternyata terbukti dengan data BPS 2017, bahwa penyebab kemiskinan di Jakarta, yakni pertama adalah transportasi. Selanjutnya adalah sewa rumah atau harga rumah yang mahal dan sembako,” jelas Yayat.
Integrasi
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mencatat total jumlah perjalanan orang di Jabodetabek pada tahun 2015 mencapai 47,5 juta orang per hari. Jumlah itu terdiri dari pergerakan dalam kota sebesar 23,42 juta, komuter 4,06 juta dan pergerakan lainnya yang melintasi Jabodetabek sebesar 20,02 juta orang per hari.
“Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018, penanganan transportasi Jabodetabek dituangkan dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ),” kata Direktur Prasarana BPTJ, Heru Wisnu Wibowo.
Baca Juga: Menhub: Stasiun MRT Harus Maksimalkan Fungsi TOD
Sebagai implementasi, Presiden Joko Widodo telah membentuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sebagai instansi yang memiliki tugas dan fungsi mengintegrasikan penyelenggaraan transportasi di Jabodetabek.
Sasaran yang diharapkan tercapai dari implementasi RITJ secara substansial adalah terciptanya sistem transportasi perkotaan yang terintegrasi di seluruh Jabodetabek, berbasis angkutan umum massal. Hal tersebut untuk mengurangi kecenderungan penggunaan kendaraan pribadi yang menyebabkan kemacetan.
“Indikator kinerja utama BPTJ adalah mengupayakan pergerakan orang dengan angkutan umum mencapai 60 persen dari total pergerakan orang,” imbuhnya.
Indikator lainnya adalah waktu perjalanan asal tujuan maksimal 1,5 jam pada masa puncak, kecepatan rata 30 km/jam pada masa puncak, cakupan pelayanan angkutan umum 80 persen dari panjang jalan di perkotaan.
Baca Juga: CIBUBUR-JONGGOL: Kenapa Masih Tertinggal?
“Juga menyediakan akses jalan kaki ke angkutan umum maksimal 500 meter, setiap daerah punya feeder yang terintegrasi, serta fasilitas pejalan kaki dan park and ride dengan jarak perpindahan antarmoda 500 meter,” jelas Heru.
Karena itu, kota-kota penyangga dapat berperan melalui dukungan untuk mengakomodir pergerakan masyarakat.
“Pergerakan masyarakat dapat diminimalisir dengan pengembangan kawasan yang berorientasi transit pada masing-masing kota penyangga,” jelasnya.
Transportasi Rel
Pengembangan kawasan hunian yang disebut mampu menjadi solusi atas kemacetan adalah yang berorientasi pada transportasi massal, terutama yang berbasis rel. Belakangan memang sudah mulai menjamur pengembangan proyek-proyek hunian yang diklaim sebagai Transit Oriented Development (TOD). Padahal, TOD sendiri harus memenuhi setidaknya 8 prinsip
Baca Juga: Perbedaan TOD dan TAD: TOD Harus Penuhi 8 Prinsip
Konsep TOD, sebut Yoga Adiwinarto, Country Director The Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), akan sangat berpengaruh dalam menurunkan kebutuhan untuk mengemudi dan konsumsi energi hingga 85%.
Konsep ini akan sangat memerhatikan jaringan transportasi massal termasuk perencanaan untuk pejalan kaki atau sepeda, dan sudah harusnya diterapkan di DKI Jakarta atau sekitarnya yang dengan kepadatan tinggi, termasuk aktifitas perdagangan dan bisnis yang juga tinggi. Atau dengan kata lain, kawasan TOD harus berorientasi untuk pejalan kaki dan pengguna angkutan umum, bukan mobil pribadi.
“Banyak pengembangan yang masih menggunakan konsep Transit-Adjacent Development (TAD), bukan TOD. Karena mereka hanya fokus untuk menciptakan hunian yang hanya dekat dengan angkutan massal, namun masih menggunakan pola-pola lama,” ujar Yoga, beberapa waktu sebelumnya.
Terkait persoalan tersebut, Assistant Vice President Podomoro Golf View, Alvin Andronicus mengatakan bahwa pihaknya sebagai pelaku industri properti juga punya tanggung jawab yang besar. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengkomodir dan menampung masyarakat dalam sebuah kawasan hunian terpadu dan terintegrasi.
Baca Juga: Tahun Depan, Banyak yang Beralih ke Transportasi Massal Kereta
“Kami sebagai pengembang juga memiliki tanggung jawab yang sama seperti pemerintah. Dalam hal ini, pengembangan kota baru Podomoro Golf View juga merupakan salah satu cara kami dalam mendukung pemerintah mengatasi persoalan kemacetan tersebut, kata Alvin.
Menurut dia, saat ini pemerintah tengah gencar membangun infrastruktur dan membuka aksesibilitas ke berbagai wilayah. Salah satunya adalah transportasi berbasis rel, seperti LRT sebagai moda transportasi massal yang murah dan lebih efisien. Oleh karenanya, dalam kawasan hunian terpadu di Cimanggis ini juga terdapat stasiun LRT, park and ride serta feeder untuk kendaraan umum.
“Dengan fasilitas yang ada, baik penghuni maupun masyarakat sekitar dapat memanfaatkan dengan baik sehingga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” jelasnya.
Podomoro Golf View adalah salah satu proyek yang dikembangkan dengan pendekatan transportasi atau TOD. Gedung Transfer Point LRT setinggi 5 lantai yang diresmikan pada April tahun lalu juga kini sedang dalam tahap penyelesaian.
“Konsep TOD memang sudah jalan di mana-mana. Tetapi kalau dilihat future plan-nya, LRT ada di depan pintu. Jadi bukan TOD lagi tapi kami bilang ROD atau rail oriented development,” kata Alvin.
Baca Juga: Don’t Worry Tinggal di Podomoro Golf View, Cimanggis
Upaya lainnya adalah dengan menyediakan seluruh kebutuhan masyarakat di PGV, mulai dari pendidikan, kesehatan, wisata, dan sebagainya, sehingga diharapkan meminimalisir perjalanan ke luar kawasan. Kawasan PGV diperkirakan akan dihuni sekitar 60 ribu jiwa.
Seperti diketahui, sebanyak 4.500 apartemen dari 3 blok tower yang dibangun pada tahap pertama mulai diserahkan kepada konsumen, pada April 2019 mendatang. PGV adalah kawasan hunian mixed-use development seluas 60 hektar.
Adapun apartemen dalam kawasan hunian terpadu ini direncanakan sebanyak 14 blok tower dengan total 20.000 unit. Kemudian rumah tapak 2 lantai sebanyak 800 unit.