Baru saja, konsultan properti dari Savills Indonesia, Anton Sitorus, membeberkan sebuah “temuan” menarik. Yaitu bahwa area garapan pengembang apartemen di Jakarta, sudah bergeser. Yakni ke area Bodetabek, yang lahannya masih terbilang murah.
Ini sebenarnya sebuah hal klasik bagi dunia properti hunian di Indonesia, di mana mekanisme pasar bebas berperan dalam pembentukan harga. Di saat lahan semakin langka sementara permintaan sangat deras, niscaya harga properti tersebut naik fantastis.
Yang memprihatinkan kita, sejatinya problem tersebut bukan hanya terjadi di ranah hunian komersial. Hunian subsidi berwujud apartemen ataupun rumah, juga mengalami problem lonjakan harga lahan tersebut—sementara, harga jual tidak bisa dinaikkan selaras pergerakan pasar karena adanya batasan harga jual maksimal dari pemerintah Indonesia.
Baca Juga: Daya Beli Properti Tidak Turun!
Maka, tidak mengherankan bila pemangku kepentingan sektor perumahan rakyat sudah bertahun-tahun mengutarakan perlunya pembentukan lembaga bank tanah (land bank) demi mengatasi persoalan tersebut. Bola pun bersambut: pemerintah pusat dikabarkan telah menyiapkan peraturan presiden untuk pembentukan BLU (badan layanan umum) bank tanah. Akan tetapi, sampai ditulisnya kolom ini, perpres tersebut belum lahir. Walhasil, sektor perumahan rakyat agaknya masih perlu jalan panjang meraibkan problem lahan murah yang langka.
Perlu Bergerak Menerobos
Di sini, apakah pemangku kepentingan sektor perumahan rakyat harus berdiam diri menunggu perpres tersebut? Seyogianya tidak. Benar, BLU bank tanah merupakan buldoser pendobrak persoalan ketiadaan lahan murah. Berbekal tanda tangan presiden, lembaga tersebut bisa lebih bertaji tajam.
Akan tetapi, sebenarnya tanpa BLU tersebut, ada terobosan yang bisa digelar untuk memecahkan tembok beku tersebut. Dalam hal ini, pemerintah daerah (pemda) bisa berperan sangat penting dalam memasok lahan murah.
Ini mengingat bahwa, sejak lama, pemda telah diperluas wewenangnya via otonomi daerah. Dalam hal perumahan rakyat, Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, sejatinya memberi otoritas ke pemda dalam aspek tertentu. Bahkan belakangan, Kementerian PUPR RI menjalankan Program Dekonsentrasi Perumahan, yang intinya mendorong pemda lebih berperan dalam sektor perumahan rakyat—khususnya dalam inovasi pembiayaan.
Nah, dalam hal pengadaan lahan murah, pemda sejatinya bisa berperan besar. Karena, secara substansi, ada banyak instrumen hukum yang bisa dipakai pemda untuk membuat sendiri bank tanah, tanpa perlu menunggu perpres BLU bank tanah itu lahir.
Dalam lingkup tersebut, pemda dengan angka backlog (kekurangan pasokan) tinggi seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat, bisa berperan menjadi role model pembentukan bank tanah. Dari situ, barulah langkah terobosan itu bergulir ke pemda lain.
Dalam hal ini, kata kuncinya sangat jelas sebagai berikut: adanya kemauan politik yang kuat untuk membentuk bank tanah versi pemda—tentu, hal ini perlu didukung kuat oleh pemangku kepentingan lain seperti DPRD.
Bagaimana garis besar langkah terobosan tersebut? Pertama kali, adalah menjabarkannya dalam RTRW (rencana tata ruang dan wilayah) tingkat propinsi, kabupaten, atau juga kotamadya. Zona lahan hunian murah perlu diadakan dengan detail di situ via perda (peraturan daerah). Dengan kemauan politik tinggi, dukungan kuat dari DPRD untuk membuat zona seperti itu (mungkin via revisi RTRW dan lain-lain) bisa diwujudkan. Perda terkait bank tanah, pada akhirnya bisa terbit dalam hal ini.
Mengingat fakta bahwa tren angka backlog tinggi lazim ada di kota besar, maka bank tanah tersebut perlu ada di sekitar kota besar sebuah propinsi.
Kemudian, pemda pun bisa menyediakan lahan murah untuk hunian subsidi—rumah atau apartemen—tanpa harus kehilangan pemilikan atas lahan tersebut. Bukankah pemda bisa memberikan status HPL (hak pengelolaan lahan) kepada pengembang hunian murah? Untuk kemudian, pembeli properti itu mendapatkan sertifikat HGB (hak guna bangunan) di atas HPL tersebut.
Lebih jauh, dalam hal membentuk bank tanah, pihak pemda bisa memakai cara tukar guling ketika bersua fakta bahwa zona lahan tersebut sudah dimiliki pihak lain, bukan?
Kata kunci bagi terbentuknya bank tanah pemda, sejatinya adalah kemauan politik sangat kuat untuk proses dan aktivitas tersebut. Dengan kemauan politik kuat, bank tanah pemda itu bukan mustahil terbentuk. Dan otomatis, satu pekerjaan rumah memangkas angka backlog perumahan, selesai sudah.
Pekerjaan rumah lain masih ada, tentunya. Dari tiga kutub utama ranah perumahan subsidi (pasokan, pembiayaan, dan permintaan), bank tanah hanyalah salah satu komponen. Pekerjaan lain seperti insentif untuk pengembang dan konsumen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), masih menunggu.
Dan apakah pemda harus selalu menunggu aturan dari pusat seperti perpres BLU bank tanah dan lain sejenisnya? Tentu tidak demikian, bukan?
*Penulis Adalah Wartawan Senior Properti, Serta Mantan Tenaga Ahli di Ditjen Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR RI.
[…] Bank Tanah Tanpa Perpres, Bisa! […]