Selain masih dalam radius sekitar 800 meter, hunian konsep TOD juga harus memenuhi 8 syarat lain. Di antaranya adanya jalur pesepeda dan pejalan kaki yang nyaman, termasuk pengurangan jumlah lahan parkir.
Wajah perubahan semakin terlihat jelas di Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Perubahan itu terlihat dari gencarnya pembangunan infrastruktur untuk transportasi massal. Light Rail Transit (LRT) dan Mass Rapid Transit (MRT) menjadi pembicaraan hangat setiap hari warga Jakarta dan sekitarnya.
Warga menanti-nanti kapan kedua moda transportasi massal ini bisa dinikmati. Tidak hanya warga Jakarta tapi juga sekitarnya, Bekasi, Tangerang, Depok hingga Bogor.
Nah, riuhnya pembangunan LRT, MRT dan ditingkatkannya nilai ekonomi stasiun commuter line, semakin semarak dengan munculnya hunian berkonsep Transit Oriented Development (TOD). Konsep TOD ini mengintegrasikan hunian apartemen dengan akses moda transportasi massal.
Nyaris setiap bulan kita mendengar pengembang melakukan acara groundbreaking hunian TOD di stasiun commuter line atau di kawasan yang diklaim dekat stasiun LRT.
Baca Juga: Perbedaan TOD dan TAD: TOD Harus Penuhi 8 Prinsip
Bicara hunian konsep TOD di zaman kekinian atau istilahnya “Zaman Now”, kita ingat di tahun 2000-an para pengembang marak mengklaim proyeknya dekat dengan exit tol. Ketika itu pemicunya adalah pembangunan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) yang sedang gencar dilakukan.
Pengembang bicara tentang hunian dengan konsep pengembangan “dekat pintu tol”, yang bermakna sama dengan “dekat ke mana-mana”. Pengembang pun beramai-ramai mengklaim dekat exit tol, walaupun kenyataannya jarak dari exit tol ke perumahannya masih sekian kilometer.
Tetapi dengan semakin tumbuhnya kendaraan roda empat yang memicu kemacetan di jalan tol, membuat konsep hunian dekat exit tol dianggap sudah tidak relevan lagi.
Menurut pengamat perkotaan Yayat Supritna, tidak ada pengendalian tata ruang terkait pembangunan di sepanjang jalan tol. Sehingga terlalu banyak bukaan atau exit tol. Bukaan-bukaan inilah yang membuat penggunaan tol turun.
“Pengguna ini yang membuat kemampuan kecepatan kendaraan turun. Kecepatan di tol sekarang hanya 20-30 km per jam,” ujar Yayat, dalam satu kesempatan.
Sekarang, pembangunan berbagai sarana infrastruktur dan transportasi massal seperti LRT, MRT, Trans Jakarta, dan commuter line, membuka peluang hadirnya hunian dengan konsep TOD, yaitu hunian yang terintegrasi dengan moda transportasi. Tidak perlu lagi menggunakan kendaraan pribadi cukup naik moda transportasi massal untuk ke tempat kerja.
“Dulu orang membeli hunian yang dekat dengan pintu tol, namun saat ini lebih banyak akan beralih kepada hunian yang berdekatan dengan akses transportasi massal publik,” ujar Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) DKI Jakarta, Amran Nukman.
TOD di Perlintasan
Salah satu syarat sebuah hunian masuk dalam kategori TOD adalah hunian tersebut berada di dekat area transit atau stasiun transportasi massal. Bila diukur dengan jarak hanya berada dalam radius 800 meter. Lantas siapa pengembang yang mengincar kawasan TOD.
Untuk di stasiun commuter line kabarnyar sudah “dikuasai” pengembang BUMN. Ini bisa dimaklumi karena stasiun commuter line berada di bawah BUMN yaitu PT Kereta Api Indonesia (Persero). Jadi, bisa dimaklumi juga kalau PT KAI mengajak perusahaan BUMN lainnya untuk berkolaborasi menggarap hunian TOD.
Sebut saja PT Waskita Karya Realty (Waskita) yang akan membangun apartemen middle low dan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di atas lahan seluas 3,3 hektar di Stasiun Bekasi. Kabaranya proyek di lahan PT KAI ini menelan investasi sekitar Rp 800 miliar untuk 6 tower hunian. Waskita juga akan membangun di Stasiun Bogor dan Stasiun Paledang dengan nilai lebih dari Rp2 triliun.
Stasiun Senen, dan Stasiun Laswi, Bandung juga akan digarap oleh Wika untuk dikembangkan hunian TOD. Kedua lahan ini juga dimiliki PT KAI.
“Saat ini banyak masyarakat yang tinggal di daerah penyangga, dengan commuter line sebagai transportasi utama. Sehingga proyek TOD ini menjadi solusi bagi mereka, termasuk MBR,” kata Tukijo, Direktur Utama Waskita Karya Realty.
PP Properti tidak mau ketinggalan menggarap hunian dengan konsep TOD di Stasiun Juanda, Stasiun Tanah Abang, dan Stasiun Manggarai. Bahkan untuk di Stasiun Manggarai dengan luas 60 hektar ditaksir akan menelan dana hingga Rp215 triliun.
Perumnas, jawaranya pembangunan rumah sejak dulu tidak mau kalah untuk menggarap proyek hunian TOD. BUMN ini telah meluncurkan dua proyek apartemen di Stasiun Tanjung Barat dan Pondok Cina, dengan investasi masing-masing sebesar Rp705 miliar dan Rp1,45 triliun.
“Ini merupakan bentuk inovasi hunian yang terintegrasi dengan sarana transportasi kereta commuter Jabodetabek,” ujar Bambang Triwibowo, Direktur Utama Perum Perumnas.
Jalur LRT tentu tidak luput dari pengembangan hunian TOD. Untuk TOD di jalur LRT sebagian besar akan digarap oleh PT Adhi Karya (Persero) Tbk, dengan brand LRT City. Salah satu proyek pengembangan kawasan TOD yang tengah dikebut bersamaan dengan beroperasinya LRT, yaitu LRT City, melalui divisi TOD dan Hotel.
Amrozi Hamidi, GM TOD & Hotel, AdhiKarya, mengatakan bahwa perencanaan proyek tersebut dilakukan dengan pendekatan pengembangan berbasis transportasi atau TOD, sebagaimana mensyaratkan 8 prinsip yang harus dipenuhi dalam kawasan.
Kedelapan prinsip dimaksud, yakni walk (berjalan kaki), cycle (bersepada), connect (menghubungkan), transit (angkutan umum), mix (pembauran), shift (beralih), densify (memadatkan), dan compact (merapatkan).
“Semuanya kami bangun di LRT City, baik jalur pejalan kaki, juga jalur pesepada yang nyaman. Kami juga menggandeng PPD untuk bisa menyediakan shuttle bus di setiap kawasan LRT City, sehingga perpindahan antar moda menjadi lebih mudah,” kata Amrozi.
Lebih lanjut menurut Amrozi, keberadaan LRT City yang direncanakan akan berada di 21 kawasan juga akan membantu menekan penggunaan kendaraaan pribadi yang melintas di Ibukota. Jalur Cikampek dan Jagorawi menjadi penyumbang terbanyak dengan rata-rata kendaraan per hari mencapai 571.000 dan 426.000 atau setara dengan 38 persen dan 31 persen.
Saat ini AdhiKarya sudah mulai membangun 4 LRT City, 3 diantaranya sudah ada stasiun yakni di Bekasi Timur (Eastern Green 16,9 hektar); Jaticempaka (Gateway Park 5,9 hektar); dan Ciracas (Urban Signature 11,5 hektar).
“Untuk Royal Sentul Park juga sudah mulai kami bangun di lahan 14,8 hektar, namun stasiunnya belum. Sedangkan Cikoko di MT Haryono, sinergi dengan BUMN, termasuk di Jalan Gatot Subroto, di Cikunir dan Cibubur. Kemudian di setiap LRT City juga kami bangun hunian MBR,” jelas Amrozi.
Sementara pengembang swasta pun tidak kalah gesit mengincar stasiun commuter line atau stasiun LRT untuk dikembangkan sebagai hunian TOD. Metland Cibitung masuk barisan menggarap TOD di stasiun commuter line tepatnya di Stasiun Telaga Murni.
Metland Cibitung sudah mempersiapkan lahan 20 hektar sebagai proyek mixed-use yaitu Metland Milenia City (MMC). MMC merangkum rumah tapak, apartemen, komerisial, fasilitas pendidikan, rumah sakit, hotel, dan fasilitas lainnya.
“MMC satu area dengan stasiun yang akan dibangun di lahan 2.000 meter persegi,” kata Robbyansyah, ST, General Manager PT Fajarputera Dinasti.
Kemudian ada TransPark Juanda yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari Stasiun Bekasi Timur. Proyek yang dibangun oleh Trans Property, milik konglomerat Chairul Tanjung, baru saja dimulai, awal November ini.
Pikko Group melalui Signature Park Grande yang berada di Jalan MT Haryono, memiliki keunggulan di lokasi. Apartemen kelas menengah ini memiliki posisi terbilang strategis, berada persis di simpang Jalan MT Haryono dan Jalan Dewi Sartika, yang merupakan jalur LRT.
Yang menjadi pertanyaan betulkah semua proyek apartemen yang mengusung hunian berkonsep TOD betul-betul berada di lingkungan stasiun commuter line atau LRT, atau masih harus ditempuh dengan kendaraan.
Maklum, terkadang pengembang mengklaim dekat stasiun hanya sekadar gimmick untuk konsumen. Patut disimak pernyataan Yoga Adiwinarto, Country Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP).
Menurutnya, banyak pengembangan yang masih menggunakan konsep Transit-Adjacent Development (TAD). Artinya, pembangunan yang hanya sekadar dekat atau berada di sekitar transit, bukan TOD.
Hunian TAD, lanjut Yoga, masih menggunakan pola-pola lama pembangunan, seperti pagar bangunan yang tertutup sehingga menjadi eksklusif. Lahan parkir yang masih banyak disediakan agar dapat menarik calon pembeli. Pengembang juga lebih fokus pada gedungnya, bukan pada ketersediaan fasilitas untuk pejalan kaki dan pesepeda yang berbentuk jaringan.
“Dengan kata lain, meskipun pengembangan ini sudah berada di dekat area transit (public transport-red), tentunya dalam radius 800 meter, namun mereka masih menggunakan pola pengembangan car-oriented, yang menurut saya akan berbahaya bagi masa depan kota,” kata Yoga. [Pius Klobor/Property and The City Edisi 34 2017]