Utang yang kian menumpuk, melahirkan ide kreatif untuk memanfaatkan potongan kaca bekas.
Sukses menjalankan sebuah bisnis, tak mesti menempuh bangku pendidikan tinggi apalagi kursus keterampilan tertentu. Terbukti, banyak orang yang sukses berwirausaha hanya bermodal ijazah SD, atau SLTA. Pun demikian dengan Sutoyo, lulusan Teknik Mesin Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ini mampu meraup omzet hingga puluhan juta dari bisnis rumahan yang kini ia tekuni di Dusun Menoyo Lor, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Baca Juga:
- Daur Ulang: “Tak Ada Rotan, Koran pun Jadi”
- Dari Daur Ulang Kertas, Neza Bangkitkan Semangat Anak Jalanan
- Mendulang Untung Puluhan Juta dari Limbah Karung Goni
Sejatinya, bapak dua anak ini telah menekuni usaha kreatif sejak 2002. Saat itu, ia mendirikan usaha Toy’s Production ‘Flower & Handycraft’ untuk memroduksi dan memasarkan beragam produk kerajinan tangan. Usaha ini pun bertahan hingga 2005 yang kemudian bergeser menjadi Titoy Production ‘Terracotta & Handycraft’-masih, produk kerajinan tangan menjadi produk utama usahanya, kala itu.
“Tahun 2008, saya menciptakan kerajinan dari lintingan majalah bekas dijadikan frame foto, frame mirror, wall dekor, accesories, dan lainnya,” tutur Sutoyo kepada IndoTrading News.
Awalnya, usaha ini berjalan mulus, bahkan ia menjalin kerja sama dengan perusahaan eksportir untuk pemasaran produknya. Pada 2010 Mas Toyo, demikian dia biasa disapa, mendapatkan komplain dari perusahaan eksportir tersebut. “Mereka hentikan kerja sama, saya mengalami kerugian sangat besar,” tuturnya.
Usaha Toyo merugi dan gulung tikar. 32 karyawannya pun terpakasa diberhentikan tanpa pesangon. Harta benda tersisa juga terpaksa dijual, seperti gudang, dua unit mobil, dan empat unit motor. Itupun tidak menutupi jumlah kerugian sehingga menyisakan hutang lebih dari Rp 100 juta.
Di awal 2011, Toyo memutuskan untuk tidak melayani perusahaan eksportir tersebut. Menurut dia, perusahaan tersebut terlalu memonopoli produknya. Lebih dari itu, pembayarannya pun tidak lancar, serta harga yang terlalu murah.
Dalam kondisi terjepit tersebut, Toyo akhirnya beradu nasib mencoba peruntungan sebagai penjual soto ayam. Pekerjaan ini dia lakoni sekira 4 bulan, kemudian berhenti lantaran sepi. “Lalu saya pinjam modal teman sebesar Rp 4 juta mencoba berjualan ayam di Pasar Satwa dan Tanaman Hias (Pasty), Yogyakarta, tapi hanya bertahan 5 bulan kena flu burung. Ayam mati semua sehingga saya tidak bisa mengembalikan modal usaha tersebut,” ceritanya lagi.
Meski kerap gagal, Toyo tak patah arang. Ia tetap melangkah maju mencoba berbagai kegiatan usaha. Akhirnya pada September-Oktober 2011, Toyo dan isterinya, Dwi Astuti, menjalankan usaha lain, mensuplai berbagai bahan kebutuhan untuk sebuah spa di Bandung. Mereka meracik dan membuat massage oil, lulur, handbody, dan lainnya. Pekerjaan ini terbilang cukup baik, ekonomi keluarga sedikit terbantu. Disamping itu, Toyo juga mencoba peruntungan lain dengan menjual jagung bakar, namun usaha ini pun gulung tikar.
Hampir saja, Toyo putus asa. Namun dorongan isteri dan keluarganya, ia mampu bangkit. Apalagi, ia pun begitu prihatin terhadap ibu mertuanya yang terserang stroke, belum lagi hutang yang kian menumpuk, belum terlunasi. Rupanya, inilah yang menjadi motor penyemangat pria kelahiran Bantul, 24 Oktober 1977 ini. Dari situ, terlahirlah ide-ide kreatif dan inovatif untuk menciptakan produk-produk bernilai jual tinggi.
Ide tersebut berawal ketika Toyo melihat begitu banyak limbah kaca bekas di sebuah toko di samping ruma kontrakannya. Akhirnya, pada 25 Juni 2012, Toyo mengadu nasib menjadi pengrajin kaca bekas. Tangan dan jemari yang sempat kaku, kini kembali lentur memotong dan membentuk berbagai potongan kaca tersebut menjadi produk-produk nan unik.
“Awalnya saya mencoba memotong kecil-kecil kaca akuarium yang pecah menjadi bentuk-bentuk yang unik. Akhirnya ketemu ide untuk membuat lampu. Setelah itu kami uji beberapa lampu pemanas dan di atasnya kami letakkan mangkok sambel untuk tempat cairannya,” ceritanya.
Toyo bilang, modal awal mengerjakan produk percobaannya tersebut adalah sebesar Rp 100 ribu, untuk membeli kabel, lampu, serta beberapa peralatan lainnya. Pada Oktober 2012, lampu buatan Toyo tersebut didemonstrasikan di hadapan guru-guru sebuah sekolah luar biasa (SLB).
“Hasilnya fantastis, hampir semua guru berminat dan mereka memesan sebanyak 80 pcs,” katanya.
“Tapi kami bingung produksinya. Makanya baru bisa selesaikan permintaan tersebut setelah tiga minggu kemudian,” sambung bapak dua anak ini.
Dari situ, Mas Toyo kian optimis untuk melanjutkan usaha yang diyakni mampu mendongkrak ekonomi keluarganya tersebut. Usahanya itu pun dipatenkan dengan nama “Titoy Jaya Production (TJP) – Lampu Aromatherapy & Handycraft”, sebuah usaha kecil menengah (UKM) yang memroduksi lampu aromatherapy, juga beberapa produk kerajinan lainnya, seperti vas, lampu tidur, dan lainnya.
“Saya optimis dengan produk baru ini. Makanya saya mulai merekrut tetangga saya untuk membantu menjalankan usaha ini,” imbuhnya.
Pekerjaan barunya tersebut terus ia giatkan. Apalagi, tanpa modal besar, hanya memanfaatkan sisa potongan kaca bekas dari toko-toko kaca. Proses pengerjaannya pun terbilang mudah, kaca dipotong kecil sesuai ukuran yang diinginkan, ditata dan dilem sesuai bentuk yang diinginkan. Selesai. Mudah, murah, namun bernilai jual tinggi.
Sementara lampu yang digunakan adalah lampu LED, bisa 10 watt atau 20 watt, tergantung pilihan (semakin besar daya lampu, semakin cepat panas untuk menguapkan minyak esensial). Pemakaiannya pun mudah, begitu lampu dinyalakan lalu minyak esensial dituangkan ke dalam wadah, persis di atas lampu tersebut. Tinggal menunggu beberapa saat, aroma minyak akan segera terasa di ruangan tersebut.
“Multi fungsi, bisa sebagai penerangan, pengharum ruangan, juga sebagai terapi kesehatan,” ungkapnya. Toyo juga menyediakan minyak esensial dalam berbagai aroma, dimana minyak tersebut pun dapat dicampur dengan air.
Kini, TJP mempekerjakan tiga orang karyawan tetap dan dua tenaga freelance. Selain itu, ada tiga ibu rumah tangga yang juga dilibatkan dalam pekerjaan ini, meski mereka bekerja dari rumah mereka masing-masing. TJP pun mampu memproduksi sekira 300-400 pcs per bulannya.
TJP terus berkembang. Namun, Toyo tak berpuas diri. Ia terus berinovasi menghadirkan beragam model produk lainnya. Selain lampu aromatherapy, beberapa jenis lampu lain juga ia kerjakan, seperti lampu tidur atau lampu hias. Tak hanya itu, bersama isterinya, mereka memproduksi beragam produk kerajinan tangan, seperti vas bunga, dan lainnya.
Saat ini Toyo memiliki lebih dari 25 motif lampu dengan sekitar 18 varian aroma. Lampu TJP Aromatherapy tersebut antara lain untuk aroma therapy, pewangi ruangan, penghangat massage oil, penghangat lulur, juga sebagai lampu hias. Ada pun yang tersedia adalah flamboyan, night queen, kenangan, kamboja, bogenvil, rose, ylang-ylang, edelwis, sandal wood, lily, akasia, dan bali flower. Sedangkan aroma minyak esensial yang dihadirkan, antaralain lavender, jasmine, green tea, peppermint, sandalwood, rose, opium, sakura, bali flower, apple, strawberry, vannila, lemon, ylang-ylang, frangipani, lotus, night queen, dan orange.
Produk-produk tersebut (termasuk handicraft) dipasarkan dengan kisaran harga mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 450 ribu. Sementara lampu aromatherapy yang awalnya dijual seharga Rp 38 ribu kini dibanderol mulai dengan Rp 140 ribu per lampu.
Sebagian besar produk TJP tersebut masih dipasarkan disekitar wilayah Yogyakarta, namun dengan beberapa kali Toyo mengikuti pameran, seperti di Nusa Dua Bali dan Plasa Kementerian Perindustrian, Jakarta, beberapa waktu lalu, ia optimis bakal segera merambah ke berbagai wilayah lainnya.
“Di setiap pameran yang saya ikuti, produk saya selalu habis terjual,” jelasnya. Melihat respons pasar tersebut, Toyo begitu optimis produknya bakal semakin dikenal luas oleh pasar Indonesia, bahkan luar negeri.
Ia pun mengakui, jika perbulannya bisa meraup omzet hingga Rp 25 juta. “Omzet tidak menentu, tapi kisaran Rp 10 juta-Rp 25 juta per bulan,” tegas dia.
Namun demikian, TJP, menurut Toyo, masih memiliki sejumlah kendala, seperti keterbatasan modal untuk pengadaan permesinan, pembelanjaan bahan, dan tempat kerja yang belum memadai. Dia berharap, pemerintah dapat lebih memperhatikan dan memberikan bantuan untuk pengembangan mereka.
“Pengembangan UKM di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik. Semakin banyak program pemerintah juga BUMN untuk membantu UKM, namun belum menyentuh semua UKM, apalagi di daerah. Untuk ini kami terus berharap agar usaha-usaha kecil, seperti kami ini lebih diperhatikan oleh pemerintah,” pungkasnya. [pius klobor/IndoTrading News].