Setelah membahas berbagai hal, terkait persiapan untuk menjalankan sebuah usaha (bagian 1), maka pada bagian dua adalah inti dari tulisan ini.
Mike Rini Sutikno, Perencana Keuangan dari Mitra Rencana Edukasi (MRE), akan mengungkapkan beberapa hal, terkait pengaturan dan pengelolaan keuangan ketika menjalankan sebuah bisnis.
Baca Juga: Merencanakan Keuangan untuk Membangun Usaha (bagian 1)
Berikut penuturannya kepada IndoTrading.com:
Setelah membangun dan memulai sebuah usaha, bagaimana dengan persiapan keuangannya?
Nah, untuk menjalankan semua ini, maka tentu memerlukan permodalan. Permodalan memang identik dengan uang atau dana, tapi, untuk membuka sebuah usaha tidaklah cukup hanya uang. Modal bisa saja jaringan (networking), target pasar, dan sebagainya.
Nah, bagaimana dengan pengelolaan modal uang tersebut?
Untuk permodalan (baca: uang), dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni modal start up dan modal operasional.
Modal startup digunakan untuk memulai usaha, seperti perizinan, peralatan, dan promosi. Selanjutnya, saat usaha mulai berjalan, maka diperlukan modal untuk gaji karyawan, bahan baku, promosi bulanan, transportasi dan komunikasi, dan lainnya.
Untuk modal awal (startup), sebaiknya tidak besar. Intinya, modal awal harus bisa dihemat. Misalkan untuk tempat dan peralatan, bisa gunakan rumah dan alat sendiri dulu, setelah berkembang, baru boleh memikirkan untuk lokasi dan peralatan yang mungkin lebih baik.
Sementara untuk modal operasional, seperti biaya listrik, air, gaji karyawan, sebaiknya disediakan untuk 3-6 bulan ke depan.
Bagaimana dengan sumber modal tersebut? Apakah uang pribadi atau bisa dengan pinjaman?
Untuk sumber permodalan memang yang paling aman adalah modal yang disiapkan sendiri, sehingga tidak ada kewajiban dikemudian hari. Namun jika tidak, maka kita perlu mencari dan mengakses sumber-sumber pendanaan lain, namun tetap mengedepankan yang termurah, dan termudah.
Saya tidak sarankan berhutang untuk modal usaha, tapi coba tawarkan pola kerja sama kepada mitra, sehingga bisa menjadi modal patungan.
Nah, jika modal sendiri kurang dan modal patungan tidak ada, saran saya, jangan sekal-kali gunakan modal hutangan, apalagi jika Anda belum punya pengalaman berbisnis. Kecuali jika nanti usaha Anda sudah mulai berkembang, dan sudah mendapatkan pelanggan, saya kira risikonya nanti lebih kecil, karena sudah punya pengalaman dan punya kemampuan untuk menghasilkan arus kas.
Jika usaha usaha sudah mulai berjalan, bagaimana cara mengatur pemasukan dan pengeluaran keuangan tersebut?
Sebaiknya, dalam menjalankan usaha tersebut, tertib administrasi harus dilakukan. Untuk usaha kecil, kita bisa melakukan pencatatan secara sederhana. Sedangkan pada usaha yang besar, diselenggarakan pembukuan atau yang disebut accounting.
Saya kira usaha kecil tidak harus menggunakan standar accounting yang rumit, dengan bentuk laporannya yang juga sangat lengkap, tapi gunakan yang sederhana saja. Jadi setiap hari, secara rutin kita mencatat uang masuk dan uang keluar, kemudian juga semua biaya-biaya usaha yang berkaitan dengan produksi. Jadi kita bisa buatkan yang namanya buku pembelian dan buku penjualan.
Biaya-biaya selain biaya produksi dan di luar penjualan produksi, seperti listrik, telepon, gaji karyawan, dimasukkan ke buku kas. Buku kas di sini artinya cash atau uang tunai, pengeluaran yang tidak terkait langsung dengan produksi. Jadi jika tiap hari semua itu dicatat, maka tiap bulan akan ditotalkan semua. Penjualan dikurangi pembelian dan biaya-biaya lain, di situ baru kelihatan laporan laba atau rugi. Jadi sederhananya begitu saja.
Jika usaha tersebut sudah mendapatkan laba, bagaimana cara mengelola keuangan tersebut agar usaha terus berjalan?
Yang harus dihindari adalah menggunakan uang usaha untuk kebutuhan pribadi. Jadi harus dipisahkan antara uang usaha dan uang pribadi. Jika memungkinkan, buka tabungan tersendiri atas nama usaha tersebut, atau atas nama pemilik tapi dikhususkan untuk usahanya. Ini dimaksudkan agar lalulintas uang masuk dan uang keluar terpisah dari rekening pribadi.
Namun demikian, jika kita ingin menggunakan dana usaha tersebut untuk keperluan pribadi, maka harus juga dilakukan pencatatan dengan rapi. Bisa juga dengan menggaji diri sendiri, sehingga tiap bulan kita juga mudah untuk mengalokasikan jumlah tertentu untuk gaji karyawan, termasuk kita (baca: pemilik).
Cara lain adalah, kita membuat sebuah konsep komisi. Jadi kalau belum sanggup membayar gaji diri sendiri, maka dari barang yang terjual, bisa ditetapkan komisi penjualan.
Jadi yang perlu saya tegaskan lagi di sini adalah, harus professional dan disiplin mengelola keuangan usaha, apalagi jika suami/istri atau anak juga ikut bekerja di perusahaan tersebut. Memang banyak usaha, terutama usaha rumah tangga agak sulit melakukan pencatatan yang detail. Jadi kalau mau, yang memegang uang kas usaha bukan pemiliknya, jadi bisa membayar orang lain.
Bagaimana dengan fasilitas pinjaman yang ada di bank-bank atau lembaga lain?
Kemudahan pinjaman di satu sisi memang bisa memberikan dorongan bagi kegiatan usaha, termasuk juga usaha rumah tangga, tapi tidak kemudian fasilitas pinjaman seperti itu harus dipandang sebagai “bukan barang gratisan”. Meskipun itu fasilitas dari pemerintah, tapi penggunaannya tetap harus professional, tetap harus dikembalikan pada waktunya.
Jadi adanya fasilitas seperti ini, di satu sisi membantu, tetapi di sisi lain ada moral hajat: merasa ada bantuan lantas jadi malas.
Menyinggung soal partner, apa keuntungan dan kerugian punya partner dalam bisnis kita?
Apa yang kita tidak bisa, dia bisa. Jangan sampai partner kita justru merepotkan kita. Jadi cari partner yang bisa melengkapi dan menutupi kekurangan kita. Misalkan kita tidak punya uang, maka cari partner yang punya uang, atau soal network, maka cari yang punya jaringan lebih luas dari kita.
Lantas, siapa atau orang seperti apa yang layak menjadi partner kita?
Jika kita hendak mencari partner, maka kita harus membuat requirement dulu, apa kekurangan kita dan apa yang kita butuhkan. Dan belum tentu, partner kita itu adalah sahabat dekat, atau keluarga kita.